(DON’T) JUDGE THE BOOK BY ITS COVER


Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda. Sahihkah?

Saat bertemu dengan orang yang sama sekali baru, apa yang jadi senjatamu? Sederhana saja, dan saya kira ini mungkin yang paling mudah : bungkusnya. Penampilan dan cara membawa diri. Perlu kita sepakati bahwa kita semua bukanlah cenayang yang punya mata batin menembus ke lubuk hati terdalam, maka paling mudah menilai orang dari penampilan. Secara psikologis, kita punya ketertarikan yang lebih besar untuk bicara dengan lawan bicara yang atraktif secara penampilan, apalagi kalau lawan bicara itu sekaligus lawan jenis. Berlaku hukum dasar magnet, tarik-menarik. Saat saya bicara bungkus, tidak saja soal pakaian, tapi juga tutur kata, pembawaan diri, dan juga penampilan fisik. Semua yang serba terdeteksi dengan indra dasar: penglihatan, pendengaran, penciuman. Nggak heran juga kalau lawan bicara yang “beraroma” instan membuat kita kurang tertarik, dan berpikir seribu kali untuk ketemu lagi.
Tapi, sekali lagi, di khalayak yang gila pencitraan ini, bungkus adalah cara yang paling dangkal untuk menciptakan ilusi. Ilusi-ilusi akan isi. Manusia masa kini yang makin dangkal ini makin terobesi pada mengindahkan bungkus dan menafikan isi. Maka manusia kemudian harus cerdas dan tak mudah terpedaya, tajamkan intuisi. Mudah saja kok, karena tiap manusia sudah secara default terprogram punya firasat. Punya bisikan suara hati. Masalahnya peka atau tidak saja. Sreg atau tidak sih dengan si lawan bicara? Ada perasaan nyaman nggak sih dengan dia? Ada klik-nya nggak sih? Pasti terasa, tapi kadang manusia-manusia yang sudah terpesona dengan bungkus yang gemilang memilih gamang. Memilih diyakinkan oleh bungkus.
Saya punya three minutes wisdom alias kebijakan tiga menit dalam menilai lawan bicara, orang baru. Jika selama 3 menit, kami bisa nyaman berbicara, maka kemungkinan besar dia adalah orang yang tepat untuk aneka kebutuhan, entah bisnis, entah cinta, entah teman. Ini kadang juga ditentukan oleh hal sepele seperti nada bicara dan  gaya bicara, atau sesederhana tatapan mata. Apa nadanya tinggi dan bossy, atau malah bisik-bisik tak percaya diri, atau tatapan malu-malu kucing, atau malah terlalu mengintimidasi. Saya, perempuan beruntung dengan dada berukuran di atas rata-rata ini kadang juga punya sedikit masalah dengan tatapan mata lawan bicara, apalagi yang lelaki. Tak jarang mereka lebih fokus ke area dada daripada mata, tentu mereka yang termasuk jenis ini instan saya coret dan gagal pada kesan pertama. Yah, anggap saja ini blessing in disguise bagi perempuan-perempuan varietas khusus. Oh, penentu yang penting juga adalah bagaimana gaya jabat tangannya. Saya pribadi menyukai jabatan tangan yang mantap dan dengan tekanan yang cukup, setidaknya itu menunjukkan intensitas dan niat baik dari lawan bicara. Pikir dua kali jika jabat tangannya lemah tak berdaya. Pikir setrilyun kali kalau bertemu  jabat tangan dengan menggelitik bagian dalam telapak tangan ala om-om senang di film Dono-Kasino-Indro, bukan cuma karena sudah out of date, tapi terlebih karena Anda bukan Eva Arnaz.
Tentang frekuensi, sudah hukum alam bahwa kita akan merasa nyaman berbicara dengan mereka yang satu frekuensi. Well, frekuensi sih memang bisa diciptakan, tapi frekuensi pura-pura hanya akan bertahan sebentar. Tak lama, frekuensi asli akan terkuak dan terbuka. Ibarat topeng, semua yang palsu pasti luntur juga. Saya ingat pernah menyeleksi frekuensi kandidat pacar dengan pertanyaan sederhana, “Apa passion kamu? Hal apa yang paling penting dalam hidupmu?” Saya sudah menyiapkan diri untuk mentoleransi jawaban yang paling absurd, bahkan paling dangkal seperti uang atau hal-hal materialistik. Tapi calon di dia ini menjawab dengan “Aku nggak tahu.” Dan resmi saya berhenti naksir dan menaruhnya di ke daftar mantan calon pacar. Tiap orang memang punya frekuensi yang berbeda, dan tidak ada frekuensi yang salah atau benar. Yang ada hanya frekuensi yang sama, dimana kita saling nyaman, nyambung untuk membicarakan hal-hal.
“You had me at hello”, kata Renee Zellweger di Jerry Maguire. Sepenting itulah kesan pertama, bungkus luar. Tapi ingat, bungkus hanya laku di pertemuan pertama. Selanjutnya, sungguh, terserah Anda!
(Dimuat di kolom Halau Galau, Jawa Pos, 12 November 2012)
Ditulis oleh Kika Dhersy Putri

0 komentar:

Posting Komentar

 

Total Pageviews

Visitor

Followers

Translate

About me

Fashiolista