Makalah BW (Burgerlijk Wetboek)


BAB II
PEMBAHASAN
      
A.      Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang juga dikenal dengan sebutan Bugerlijk Wetboek (BW) yang digunakan di Indonesia saat ini merupakan kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Kodifikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon) sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang dipimpin oleh Mr. J.M. Kemper dimana sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, tetapi diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838 dan pada tahun yang sama diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi bersama Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer yakni, masing-masing sebagai anggota panita. Panitia tersebut ternyata juga belum berhasil mengerjakan BW. Pada akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, akan tetapi beberapa anggotanya diganti antara lain: Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Dimana pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Ini berarti KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia.
Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1848. Sekiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya melakukan konsultasi bersama J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Karena itu, ia juga turut berjasa dalam kodifikasi tersebut.
kondisi hukum perdata di Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk, yaitu masih beraneka ragam. Beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1.     Faktor etnis
2.     Faktor histeria yuridis, dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 (tiga) jenis golongan sebagai berikut:
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India dan bangsa arab)

Golongan warga Negara bukan asli, yakni yang berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW, yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan termasuk hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia terdapat dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.     Hukum perdata dan hukum dagang (begitu pula hukum pidana serta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus ditetapkan dalam kitab undang-undang atau dikodifikasi);
2.     Bagi mereka yang masuk dalam golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi);
3.     Bagi mereka yang masuk dalam golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya;
4.     Orang Indonesia asli dan timur asing, selama mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.

B.      Sistematika Hukum Perdata Dalam KUHPerdata (BW)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Indonesia terdiri dari empat buku, antara lain:
1.     Buku Kesatu, berjudul perihal orang (van persoonen), mengatur hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
2.     Buku Kedua, berjudul perihal benda (van zaken), mengatur hukum benda dan hukum waris.
3.     Buku Ketiga, berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen) yang mengatur hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4.      Buku Keempat, berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa (van bewijs en verjaring), mengatur perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Sistematika Hukum Perdata
Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu :

1) Hukum perorangan (personenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.


2) Hukum keluarga (familierecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.

3) Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.

4) Hukum Waris (arfrecht).
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

Berdasarkan sistematika tersebut, substansi KUH perdata terdapat dalam 2 bagian: Buku I, II dan III berisi ketentuan hukum perdata materiil, sedangkan Buku IV, berisi ketentuan hukum perdata formil.

Ditinjau dari segi perkembangannya, hukum perdata Indonesia sekarang menunjukan tendensi perubahan. Sebagaimana sistematika hukum perdata Belanda yang diundangkan pada tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988 meliputi 5 buku, yaitu :
1. Buku I tentang hukum orang dan keluarga (personen-familie-recht)
2. Buku II tentang hukum badan hukum (rechtspersoon) 
3. Buku III tentang hukum hak kebendaan (van zaken)
4. Buku IV tentang hukum perikatan (van verbentennissen)
5. Buku V tentang daluarsa (van verjaring)


Sedangkan ditinjau dari segi pembidangan isinya, hukum perdata Indonesia dalam perkembangannya terbagi menjadi bagian-bagian antara lain: Bidang Hukum Keluarga (perkawinan, perceraian, harta bersama, kekuasaan orang tua, kedudukan, pengampuan dan perwalian), Bidang Hukum Waris, Hukum Benda, Bidang Hukum Jaminan, Bidang Hukum Badan Hukum, Bidang Hukum Perikatan Umum, bidang Hukum Perjanjian Khusus.

C.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1)      Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2)      Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3)      Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pluralitis, sehingga berbeda jauh dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.

Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPerdata Hindia Belanda tetap dinyatakan  berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru  berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda  disebut juga Kitab  Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Penundukan Hukum Barat

Perihal kemungkinan untuk mendudukan diri pada hukum Eropah setelah diatur lebih lanjut di dalam staatsblad 1917 No. 12.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, yaitu:
a.       Penundukan pada seluruh hukum perdata Eropah;
b.      Penundukan pada sebagian hukum perdata Eropah, yang dimaksudkan pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan berlaku bagi golongan timur asing yang bukan Tionghoa;
c.       Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d.      Penundukan secara “diam-diam”, menurut pasal 29 yang berbunyi: “jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, dia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropah”.
Menurut riwayatnya, pasal 29 tersebut ini dirujukan kepada seorang bangsa Indonesia yang menandatangani surat aksep atau wesel.
Riwayat perundang-undangan dalam lapangan hukum perdata untuk golongan timur asing, sebagai berikut:
Mula-mula dengan peraturan yang termuat didalam  staatsblad 1855 No. 79 hukum perdata Eropah (BW dan wvk) dengan perkecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, dinyatakan berlaku untuk semua orang timur asing.
Kemudian, dalam tahun 1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan tionghoa dan bukan Tionghoa, karena untuk golongan tionghoa dianggapnya hukum Eropah yang sudah diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi
Oleh karena undang-undang dasar kita tidak mengenal adanya golongan-golongan warga Negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi hukum Nasional. Sementara belum tercapai, BW dan wvk masih berlaku, tetapi dengan ketentuan bahwa hakim (pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan zaman kemerdekaan sekarang ini. Dikatakan bahwa BW dan wvk itu tidak lagi merupakan suatu “Wetboek” tetapi suatu “Rechtboek”


D.    Relevansi BW terhadap Hukum Positif yang berlaku di Indonesia
Bagi kalangan hukum di Indonesia sudah tidak asing lagi, bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek-BW) yang sekarang berlaku di Indonesia adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan dikenal pula dengan hukum perdata barat. Sebagai sebuah UU  yang berasal dari pemerintah Kolonial Belanda, maka tentu isi dan jiwanya tidak sepenuhnya cocok dengan masyarakat Indonesia. Namun karena menghindari terjadinya kekosongan hukum, maka setelah Indonensia merdeka KUHPrdata (BW) tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia yang keberlakuannya didasarkan pada aturan peralihan UUD 1945.
Beberapa ketentuan dalam KHUPerdata-BW sudah dicabut, namun sebagian besar masih berlaku sebagai hukum positif  bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dan Hukum perdata yang berlaku di Indonesia itu  pada dasarnya bersumber kepada Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 dan tentu sudah semestinya dilakukan pembaharuan karena harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

            Di Belanda sendiri sebagai negara asalnya BW (
Burgerlijk Wetboek) yang berlaku pada tahun 1838 , seratus tahun kemudian (sekitar tahun 1928) muncul gagasan untuk memperbaiki BW. Eduard M Maijers, Profesor hukum perdata dari Universitas Leiden menerbitkan daftar yang berisikan seratus (100) kekacauan dalam KUHPerdata. Dan kemudian Meijers mengusulkan untuk menyusun KUHPerdata yang baru dengan beberapa argumentasi sebagai latar belakang dari gagasan pembaharua KHUPerdata yang digagasnya.

Upaya perbaikan terhadap KUHPerdata-BW di Belanda itu berlansung beberapa lama dan pada tahun 1986, naskah perbaikan atau pembaharuan KUHPedata Belanda menjadi defenitif untuk bagian utama buku 3, 5 dan 6 . Meskipun sudah defenitif, KUHPerdata Belanda itu tidak lansung diberlakukan karena parlemen memandang perlu ada kesiapan  untuk menghadapi perubahan baru tersebut. KUHPerdata Belanda yang baru itu baru diberlakukan pada 1 Januari 1992. Sebelumnya beberapa ketentuan mengenai hukum orang (Buku I) sudah diberlakukan pada tahun 1970 dan buku tentan orang dan keluarga diberlakukan tahun 1976. Sementara itu Buku 2 yang baru mengenai Badan Hukum 2006. Namun demikian pemerintah Belanda masih berlum berbangga memiliki KUHPerdata yang yang lengkap. Beberapa bagian terakhir, terutama terkait dengan kontrak-kontrak spesifik masih menunggu rancangan akhir. 

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek.
                  Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPer. Hindia Belanda tetap dinyatakan  berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru  berdasarkan Undang – Undang Dasar ini.
          Sebagaian materi BW sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.



DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA kelas XI. Jakarta. PT Gelora Aksara Prataman.
Prof.  R. Subekti, SH., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum perdata edisi revisi, Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1996,
Dr. Elfrida R Gultom, SH. MH., Hukum Acara Perdata,  Jakarta : Literata, 2010
Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok  hukum perdata, Jakarta : PT. Intermasa cetakan 31, 2003.
www.scribd.com/doc/13257831/MAKALAH-Sejarah-Terbentuknya-KUHPerdata, diakses : 14-06-2013
www.scribd.com/doc/40726065/Sejarah-Pemberlakuan-BW-Di-Indonesia, diakses : 14-06-2013




2 komentar:

 

Total Pageviews

Visitor

Followers

Translate

About me

Fashiolista